IKLAN

Minggu, 24 November 2013

Makna-makna dalam Bahasa Al Qur'an




Oleh: Adi ST

Al Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab yang makna perkataannya dapat dipahami oleh bangsa Arab pada masanya. Hanya saja, ada sebagian kaum muslim pada masa sekarang memandang bahwa semua perkataan di dalam Al Qur’an mesti dipahami terlebih dulu secara makna bahasa (haqiqah lughawiyyah). Padahal, Al Qur’an bukan sekedar kitab cerita atau dongeng, namun lebih dari itu ia merupakan kitab yang menjelaskan beragam hukum atas berbagai aktivitas manusia (syariat). Bahkan inilah fungsi terpenting dari Al Qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda).
Oleh karena itu, wajar jika Al Qur’an mesti dipahami terlebih dulu dengan melihat makna syar’i-nya (yang dikehendaki Allah SWT). Jika tidak ada, lalu dilihat makna menurut ‘urf (kebiasaan) masyarakat Arab, baru terakhir makna lughawiyyah-nya. Bahkan jika masih tidak bisa dipahami berdasarkan makna lughawiyyah-nya, suatu kata harus dibawa kepada makna majaz-nya (kiasan), karena tidak ada satu perkataan pun di dalam Al Qur’an yang tanpa arti atau sia-sia. Berikut sekilas penjelasan 3 tingkatan/perspektif makna perkataan Al Qur’an tersebut di luar makna lughawiyyah yang telah dikenal.

1.       Makna Syar’i (Haqiqah Syar’iyyah)
Adalah suatu kata (lafazh) yang digunakan syara’ (Allah SWT) untuk menunjukkan suatu makna tanpa indikasi (qarinah). Makna tersebut adalah makna baru yang dikehendaki syara’, di mana kemudian ia masyhur dengan meninggalkan makna lughawi-nya. Contohnya, kata ash-sholat yang digunakan oleh orang Arab dengan makna doa (secara lughawi). Namun syara’ telah memindahkannya ke makna baru, yakni serangkaian aktivitas yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam. Selanjutnya kata ash-sholat masyhur dengan makna baru (yakni makna syar’i) tersebut, bukan lagi dengan makna doa. Hal yang sama terjadi dengan kata zakat, shaum, iman, jihad, dan lain sebagainya.

2.       Makna ‘Urf/Kebiasaan/Adat (Haqiqah ‘Urfiyyah)
Adalah kata (lafazh) yang digunakan oleh kebiasaan (‘urf) bangsa Arab untuk menunjukkan makna tertentu. Contohnya, kata ad-daabbah. Awalnya -secara lughawi- kata tersebut dipakai untuk menunjuk kepada semua yang melata di atas bumi, baik hewan maupun manusia. Makna itu lalu dikhususkan oleh ‘urf pengguna bahasa untuk menunjukkan hewan berkaki empat saja. Selanjutnya kata tersebut masyhur dengan makna hewan berkaki empat, bukan lagi semua yang melata di atas bumi (termasuk manusia).

3.       Makna Kiasan (Majaz)
Adalah kata (lafazh) yang digunakan dengan makna berbeda dari makna yang ditunjuk pada konteks awal, namun masih memiliki hubungan korelatif. Misalnya, kata al-asad yang secara lughawiyyah bermakna singa, namun diartikan dengan seorang laki-laki pemberani. Sebagian ahli bahasa Arab mengatakan ada 25 macam majaz, yang lainnya mengatakan ada 21 atau bahkan 12 macam saja. Beberapa di antaranya seperti Al-Kulliyah, yakni ungkapan yang menggunakan kata bermakna keseluruhan namun yang dimaksud hanya sebagian. Misalnya di dalam QS Al Baqarah: 19, “Mereka menyumbat telinga dengan jari-jari tangan mereka”. Kata “jari-jari tangan mereka”  (ashobi’ahum) tersebut bukan bermakna keseluruhan jari, namun hanya ujung jari saja.

Sumber: Keadilan Sahabat (2004) oleh A Said Aqil Humam Abdurrahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar