IKLAN

Senin, 09 Februari 2015

ILMU KALAM MEMPERKUAT AKIDAH?



Oleh: Adi ST.


Dalam sejarah Islam, pernah muncul beberapa kelompok yang masuk kategori mazhab ilmu kalam, yakni Mu’tazilah, Jabariyyah dan Ahlussunnah. Awal dari pembahasan ilmu kalam adalah berasal dari Mu’tazilah yang bertujuan membantah pandangan para filsuf Yunani, lalu bantahan tersebut dibantah oleh Jabariyyah dan bantahan keduanya kemudian dibantah lagi oleh Ahlussunnah.

Dari beberapa definisi ilmu kalam, maka definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dan Imam Al-Ghazali adalah definisi yang terbaik karena sesuai dengan realitasnya, alias telah mencakup syarat jami’ (menyeluruh sesuai realitasnya) dan mani’ (mencegah hal-hal yang tidak termasuk realitasnya). Definisi ilmu kalam tersebut adalah,

Kamis, 05 Februari 2015

LIMA (5) FUNGSI HADITS NABI Shollallahu ‘alaihi Wassalam BAGI AL-QUR'AN



Oleh: Adi ST.

Hadits nabi saw. paling tidak memiliki lima (5) fungsi dalam kaitannya dengan kitab suci Al-Qur’an, yakni:

1.   Memberikan perincian (tafshil) ayat yang masih global (mujmal). Contohnya, di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang memerintahkan sholat, zakat, haji dan lain sebagainya. Namun bagaimana tata caranya, syarat rukunnya, jumlah rakaatnya, waktu pelaksanaannya, bacaannya, jenis barang apa yang wajib dizakati, berapa besarnya, kapan dikeluarkan, dan lain sebagainya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Hanya di dalam hadits nabi saw. (sunnah) saja semuanya lalu dijelaskan. 

2.   Mengkhususkan (takhshish) makna umum (‘am) ayat.  Contohnya, di dalam QS. An-Nisa: 11 Allah swt. menetapkan bagian waris bagi anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Ayat tersebut berlaku umum bagi setiap anak laki-laki dan perempuan. Namun ada hadits yang menjelaskan bahwa orang (anak) yang membunuh (orang tuanya) tidak mewarisi harta yang mereka bunuh. Dan ada juga hadits yang menetapkan bahwa orang yang berbeda agama (termasuk anak-orang tua yang berbeda agama) tidak saling mewarisi. Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

Sabtu, 24 Januari 2015

KEWAJIBAN MENGIKUTI HADITS NABI SAW



Oleh: Adi ST.

Sebagai salah satu dari dua sumber hukum Islam, hadits nabi saw. sering disebut juga dengan istilah lain, yakni sunnah atau khabar. Allah swt di dalam Al-Qur’an telah memerintahkan umat Islam –selain mengikuti Al-Qur’an- untuk juga mengikuti (hadits) nabi saw. seperti tertera antara lain di dalam QS. Al-Hasyr: 7, QS. An-Nisa: 64, QS. Al-Ahzab: 36, QS. An-Nisa: 59, QS. An-Nisa: 65, dan QS. Ali Imran: 31.

Dalil-dalil yang telah disebutkan di atas memiliki sumber yang pasti benar (qath’i tsubut) yakni Al-Qur’an, dan makna yang pasti (qath’i dalalah) yakni bahwa Allah swt. memerintahkan mengikuti, menaati dan melaksanakan segala yang dibawa rasulullah Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun hadits. Tidak dibenarkan hanya mengambil Al-Qur’an saja dan meninggalkan hadits. Artinya, kewajiban mengikuti hadits nabi saw. telah jelas dinyatakan oleh Allah swt, dan ingkar terhadap sunnah pun telah ditolak oleh Allah swt. secara pasti.

Selasa, 20 Januari 2015

PENYESALAN MANUSIA DI NERAKA DAN SURGA



Oleh: Adi ST.

Aturan Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi saw. tentunya bukan sekedar untuk dibaca dan dipelajari. Yang tidak kalah penting tentu untuk diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan pribadi, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa, negara, bahkan dunia. Hal ini karena nabi Muhammad saw. dengan risalahnya adalah diutus untuk seluruh alam (umat manusia), yang penerapan risalahnya berakibat terwujudnya rahmat bagi dunia (lihat QS. Al Anbiya: 107).

Bagaimana jika hal itu belum terwujud saat ini? Maka menjadi kewajiban umat Islam untuk mendakwahkannya dan mengajak umat Islam dan non Muslim untuk hidup dalam naungan Al-Qur’an. Jika bukan kita yang dibebankan kewajiban itu, maka siapa lagi? Maka tentunya apa yang terjadi di akhirat kelak terhadap orang yang mengabaikan penerapan Al-Qur’an dan Hadits nabi saw. bisa menjadi pelajaran bagi kita sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Minggu, 18 Januari 2015

BUKTI-BUKTI KEBENARAN AL-QUR'AN



Oleh: Adi ST
 

Al-Qur’an sebagai kalam (firman) Allah swt. adalah sebuah kebenaran yang bisa dibuktikan secara aqli (menggunakan akal/dengan berpikir). Hal ini karena Al-Qur’an adalah fakta/obyek yang terindera (al waqi’ al mahsus), bukan perkara yang gaib (mughayyabat) seperti eksistensi jin, malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Segala hal yang terindera manusia pasti bisa dipikirkan, sehingga dalil (bukti) kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah swt. merupakan bukti yang bersifat aqli (dalil aqli).

Dengan demikian, karena Al-Qur’an secara faktual (terindera) adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa Rasulullah Muhammad saw. yang dikatakan beliau sebagai firman Allah swt, maka hanya akan ada 3 kemungkinan saja sebagai sumber Al-Qur’an:
1.   Al-Qur’an adalah buatan bangsa Arab, karena Al-Qur’an memang berbahasa Arab
2.   Al-Qur’an adalah buatan Muhammad saw, karena beliaulah yang membawa Al-Qur’an
3.   Al-Qur’an berasal dari Allah swt, karena demikianlah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an

Sekarang mari kita analisis 3 kemungkinan di atas satu per satu. 

Jumat, 09 Januari 2015

SERBA-SERBI AL QUR'AN



Definisi Bahasa, Definisi Syar’i, Nama-nama, dan Turunnya Al Qur’an
Oleh: Adi ST.

1.   Definisi Secara Bahasa
Secara bahasa Arab ia adalah mashdar (infinitive) yang berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan yang berarti bacaan. Di dalam Al Qur’an, arti tersebut bisa ditemukan di dalam surat Al Qiyamah: 17-18 yang tejemahannya sebagai berikut,

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya (melalui Jibril) maka ikutilah bacaannya.”

Namun menurut Imam Syafii dan Imam As Suyuthi, Al Qur’an bukanlah kata bentukan (musytaq) dari kata qara’a tersebut. Ia adalah suatu nama (‘alam) spesifik bagi kitab Allah swt. yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw.

2.   Definisi syar’i
Banyak definisi syar’i telah diberikan oleh banyak ulama. Salah satu definisi yang memenuhi syarat jami’an (mencakup) dan mani’an (mencegah) adalah seperti yang disampaikan Muhammad Ali Al Hasan (1983) dalam kitabnya Al Manar fi Ulum Al Qur’an,