IKLAN

Selasa, 04 Juni 2019

Sains Lailatul Qadar


                                                                By Fahmi Amhar*)


Di bulan Ramadhan ada malam-malam spesial, yakni di sepuluh hari terakhir, yang berpeluang besar merupakan Lailatul Qadar, yang berkah dan pahalanya senilai dengan 1000 bulan (83 tahun 4 bulan). Datangnya Lailatul Qadar sesuai dengan Hadits yang mengatakan "Rasulullah beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan beliau bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir bulan Ramadan" " (HR Bukhari dan Muslim). Ada juga hadits yang mengindikasikan bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada salah satu malam ganjil bulan Ramadhan (yaitu tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29).

Lailatul Qadar juga dilihat sebagai malam diturunkannya sesuatu yang amat penting. Seperti dalam Surat Al-Qadar: 1. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada Lailatul Qadar. 2. Dan tahukah kamu apakah itu Lailatul Qadar? 3. Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. 4. Di malam itu turun malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.


Apakah yang dimaksud di ayat pertama? Ada yang menafsirkannya dengan al Qur'an. Tetapi bukankah wahyu turun berangsur-angsur dan tak hanya di bulan Ramadhan ? Dan bukankah al-Qur’an kini sudah selesai dengan wafatnya Nabi saw ? Maka tak heran beberapa mufassir memahami bahwa di Lailatul Qadar itu Allah menurunkan hikmah, atau pertolongan, ataupun sesuatu yang penting bagi perjalanan hidup hambanya, dan ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat.

Ada beberapa keterangan menyangkut malam spesial yang ini yang mencoba mendekati secara fisik. Semisal ada riwayat bahwa malam Lailatul Qadar adalah “baljah” (langit cerah, tidak tampak meteor, suhunya sedang, tidak panas maupun dingin), dan esok harinya matahari keluar dengan sinar yang lembut (tidak menyengat).

Ada berita bahwa konon Kepala Lembaga Mukjizat Ilmiah Al-Qur'an dan Sunnah di Mesir, Dr. Muhammad Abdul Basith As-Sayyid di harian Al-Wafd Mesir merujuk seorang pakar di NASA bernama Carner, bahwa di hari-hari biasa ada ribuan meteor yang jatuh ke atmosfer bumi, kecuali di satu malam yang dapat diduga itu Lailatul Qadar. Namun tak pernah ada konfirmasi hal ini dari situs NASA sendiri ataupun dari pakar independen lainnya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah berita yang “too good to be true” ini?

Menurut hemat penulis, secara saintifik ada tiga hal yang menjadi pertanyaan, yang hal ini seharusnya mendorong seorang ilmuwan muslim untuk meneliti secara serius.

Pertama, fakta bumi itu bulat, dan malam tidak terjadi secara serentak di seluruh penjuru bumi. Bahkan, pada saat-saat tertentu, ada beberapa lokasi yang dihuni manusia, yang tidak merasakan malam sama sekali.

Kedua, fakta bahwa awal Ramadhan ini masih sering tidak serentak karena belum ada sistem kalender atau metode itsbat rukyatul hilal yang diterima secara aklamasi di dunia Islam. Pula saat ini tak ada lagi seorang Khalifah yang keputusannya otoritatif di seluruh dunia Islam. Walhasil, meski di Indonesia, Saudi, dan 22 negara lainnya kita memulai puasa pada Senin 6 Mei 2019 lalu, namun di Brunei, India, Pakistan dan 8 negara lainnya 1 Ramadhan dimulai Selasa 7 Mei 2019 dengan alasan pada Ahad sore itu hilal tak tampak. Dan ada satu negara yaitu Mali yang Ramadhan bahkan dimulai Ahad 5 Mei 2019. Kok bisa? Karena kalendernya beda, Sabtu 4 Mei mereka sudah 29 Sya’ban, dan ada yang mengaku melihat hilal. Dengan perbedaan ini, maka menjadi membingungkan, kapan sepuluh hari terakhir Ramadhan, apalagi malam-malam ganjilnya ?

Ketiga, untuk fakta benarkah tidak ada hamburan meteor atau cuaca tidak hujan, tidak panas, tidak dingin, dan esok hari matahari bersinar lembut tidak menyengat, maka ini perlu pengamatan objektif secara terus menerus yang merata. Tidak bisa diserahkan secara subjektif pada segelintir orang yang kebetulan berburu Lailatul Qadar.

Dewasa ini ada beberapa satelit cuaca yang memantau bumi secara terus menerus. Amerika saat ini mengoperasikan lima satelit GOES di orbit geostasioner dan beberapa satelit NOAA di orbit polar. Russia, Uni Eropa, Jepang, China dan India juga mengoperasikan satelit cuaca masing-masing. Data satelit-satelit ini secara time-series bisa diakses bebas. Dari citra-citra satelit itu dapat terlihat bahwa setiap saat, pasti ada tempat di muka bumi ini yang diliputi awan.

Dari tiga hal ini, timbul pertanyaan: apakah Lailatul Qadar itu sangat lokal: hanya di lokasi yang sedang malam saja, yang malam ganjil, dan tidak sedang tertutup awan ?
Sulit menjawab pertanyaan saintifik seperti ini.


Namun kalau menelisik hadits-hadits Lailatul Qadar, maka tampak bahwa:

Pertama, hadits-hadits ini tidak qath’iy, baik sebagai riwayat dia dhaniy-uts-tsubut (karena tidak mutawatir), dan secara dalalah dia dhaniy-ud-dalalah (multitafsir). Jadi memang sulit untuk dicarikan legitimasi objektif empiris sebagaimana sifat sains.

Kedua, kemungkinan besar bahwa Lailatul Qadar ini akan menjadi pengalaman spiritual yang subjektif bagi pelaku ibadah yang memang serius, khusyu’ dan ikhlas.

Lailatul Qadar bukan fenomena yang berlaku bagi setiap orang yang kebetulan beribadah pada malam yang sama. Allah memilih hambanya yang pantas untuk diturunkan sesuatu atasnya, dan malaikat atas izin-Nya mengatur segala urusannya.

Maka tak tepat pula orang yang menunda melaksanakan kewajiban atau kebaikan, karena ingin dilakukan pas malam Lailatul Qodar, konon agar berpahala 30.000 kali (dari 1000 bulan kali 30 hari). Bukankah tetap lebih baik untuk kewajiban atau kebaikan itu bersegera, karena kita tidak pernah tahu ujung usia kita? Jangan-jangan usia kita tak sampai di malam Lailatul Qodar?

Kemudian urusan yang Allah turunkan malaikat atas kita, itu boleh jadi sudah Allah berikan dalam trilyunan sel sehat di tubuh kita, aliran darah yang lancar, nafas yang lega, mata yang terang, pikiran yang jernih ...

Jadi, urusan Lailatul Qadar tak perlu kita tunggu legitimasi saintifiknya. Marilah kita berlomba mengisi hari-hari kita dengan amal shaleh, dan kita ikuti sunnah Nabi dengan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Semoga Allah terima ibadah kita semua, dan dilipatgandakan faedahnya di malam Lailatul Qadar.

*) Penulis adalah Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial, dan
   Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.


Sumber: https://www.facebook.com/famhar68/posts/10216390900057506


Tidak ada komentar:

Posting Komentar